

Jakarta, 14 Januari 2025 – Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam upaya
pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui langkah konkret di sektor
perdagangan karbon. Bertempat di Ruang Meeting Kantor Badan Pengelola Dana
Lingkungan Hidup (BPDLH), acara Pre-Sessional Meeting “Launching Perdagangan
Karbon Luar Negeri” resmi dibuka oleh Deputi Bidang Pengendalian Perubahan
Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Ary Sudjianto.
Acara
ini menjadi bagian penting dalam perjalanan Indonesia menuju perdagangan karbon
internasional yang akan diresmikan pada 20 Januari 2025. Potensi besar karbon
di Indonesia tercermin dari nilai perdagangan yang telah mencapai Rp 55,237
miliar sejak bursa karbon mulai beroperasi pada September 2023, dengan volume
perdagangan mencapai 1,040 juta tCO2e.
“Sebagaimana
kita ketahui bersama, euforia dan minat entitas publik maupun swasta terhadap
perdagangan karbon sangat tinggi. Namun, diperlukan strategi yang tepat untuk
mengoptimalkan momentum ini,” ungkap Ary dalam sambutannya.
Sebagai
salah satu mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK), perdagangan karbon menjadi
instrumen penting dalam mendukung pencapaian target Nationally Determined
Contribution (NDC) Indonesia. Enhanced NDC tahun 2022 telah meningkatkan
target pengurangan emisi GRK menjadi 31,89% dengan pendanaan nasional dan
43,20% dengan dukungan internasional pada 2030.
Dokumen Second NDC, yang akan
disampaikan pada 2024, diharapkan semakin memperkuat komitmen Indonesia hingga
2035. Dokumen ini mencakup sektor baru, seperti kelautan dan hulu migas, serta
elemen penting seperti just transition dan adaptasi iklim.
Selain itu, Indonesia telah
memiliki dasar hukum yang kuat melalui Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang
Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, didukung oleh infrastruktur transparansi
berupa Sistem Registri Nasional (SRN) PPI.
Dengan
potensi besar perdagangan karbon dalam negeri, Indonesia kini siap melangkah ke
pasar internasional. IDXCarbon, platform perdagangan karbon yang
dikembangkan Bursa Efek Indonesia (BEI), akan menjadi tulang punggung transaksi
karbon internasional. Hingga saat ini, tercatat 2,48 juta ton CO2e siap
diperdagangkan secara global.
“Ini
adalah langkah besar bagi Indonesia. Kita optimis bahwa bersama-sama, kita
mampu mengimplementasikan dan menghadapi tantangan perdagangan karbon
internasional demi mencapai target NDC sekaligus memperoleh manfaat ekonomi,”
ujar Ary.
Namun,
ia menegaskan bahwa keberhasilan ini memerlukan fondasi kokoh berupa regulasi
yang adil, sistem pengawasan transparan, dan komitmen bersama dari semua pihak.
Pre-sessional
meeting ini diharapkan menjadi wadah strategis untuk menguatkan pengembangan
ekonomi karbon di Indonesia, termasuk memastikan proses SRN hingga SPE siap
diperdagangkan di pasar internasional, serta menjaring potensi buyer dan
seller dengan mekanisme yang memenuhi ketentuan pasar internasional.
“Kita
semua harus terus bersinergi dan berkolaborasi untuk mengurangi emisi GRK serta
meningkatkan ketahanan iklim demi kesejahteraan masyarakat Indonesia,” tutup Ary.
Acara yang berlangsung dengan semangat kolaborasi ini menjadi pijakan strategis bagi Indonesia untuk mengukuhkan posisinya sebagai pemain utama dalam perdagangan karbon internasional, sekaligus menunjukkan komitmen nyata terhadap keberlanjutan global.
Sedangkan pada sesi selanjutnya, acara tersebut dihadiri oleh perwakilan Garuda Indonesia, British Petroleum Indonesia, Shell Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon, HSBC Indonesia, Standard Chartered Indonesia, Yayasan Adaro Bangun Negeri, Tanoto Foundation, Arta Graha Group, Yayasan Bakti Barito, Coca Cola Foundation Indonesia, Yayasan BUMN untuk Indonesia, Unilever Indonesia dan perwakilan swasta lainnya.
oOo