Menteri LHK Teken Perjanjian Paris Soal Perubahan Iklim

 

Jakarta (Elza Astari Retaduari - detikNews)- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebagai perwakilan Indonesia menandatangani Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Indonesia pun menjadi salah satu negara pertama yang langsung mendepositkan instrumen ratifikasi.

Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement) digelar di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Jumat (22/4). Siti datang mewakili Presiden Joko Widodo dalam acara yang dibuka oleh Sekjen PBB Ban Ki Moon itu.

Tingkat partisipasi dalam acara ini cukup tinggi dilihat dari adanya 171 negara yang menandatangani Perjanjian Paris dan 13 negara yang langsung mendepositkan instrumen ratifikasi. Berbeda dengan periode pra 2015 yang ditandai absennya negara-negara kunci seperti AS dan Australia, Perjanjian Paris ini juga ikut ditandatangi oleh negara-negara dengan tingkat emisi tinggi seperti AS, China, Uni Eropa, Rusia, Jepang, dan India.

Berdasarkan keterangan tertulis dari Kementerian LHK yang diterima detikcom, Sabtu (23/3/2016), Menteri Siti diminta Sekretariat PBB menjadi Co-Chair pada sesi terakhir untuk menyampaikan national statement. Dalam pidatonya, ditegaskan bahwa Indonesia dapat bergabung menjadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Hal ini atas pertimbangan pentingnya subyek lingkungan sesuai UUD 1945 untuk perlunya menyediakan lingkungan yang baik bagi warga negara, serta pentingnya dukungan dari DPR RI.


"Sejarah telah mencatat, adalah mungkin untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sejalan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah ditunjukkan oleh sejumlah negara maju," ujar Siti dalam pidatonya seperti tertulis dalam keterangan pers Kementerian LHK.

Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. Perjanjian Paris akan berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55% emisi gas rumah kaca.

Indonesia pun berharap agar batas tersebut dapat terpenuhi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apalagi partisipasi pada acara yang diselenggarakan sesuai mandat dari Konferensi Para Pihak ke-21 Konvensi-Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC COP-21) bulan Desember 2015 tersebut cukup tinggi.

Disebutkan Kementerian LHK, Indonesia menyadari bahwa kehutanan dan pemanfaatan lahan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim, terutama karena kawasan hutan yang luasnya mencapai 65% dari luas wilayah negara Indonesia 187 juta km2 yang juga merupakan tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati. Menteri Siti pun dalam pidatonya mengungkapkan langkah-langkah konsisten yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim.

Langkah-langkah itu adalah, Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut pada Januari 2016, sebagai langkah cepat Indonesia merespon pasca kebakaran lahan dan hutan 2015. Kemudian Indonesia juga melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada hutan primer dan lahan gambut.

 

Seperti diketahui Presiden Jokowi baru-baru ini telah menyatakan moratorium perizinan sawit dan tambang. Pemerintah daerah pun telah merespon positif arahan Presiden ini, yakni Gubernur Aceh memberlakukan moratorium sawit dan tambang di Ekosistem Leuser, dan Gubernur Kalimantan Timur.

Selain itu, Indonesia juga telah melibatkan segenap komponen masyarakat seperti swasta, kampus, pemerintah daerah, dan berbagai kelompok masyarakat, untuk berpartisipasi dalam aksi terkait iklim mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Termasuk melalui program nasional yang disebut PROKLIM (program kampung iklim).

"Indonesia mendorong negara-negara maju untuk menunjukkan kepemimpinan dalam meningkatkan ambisi sebelum dan setelah 2020, baik dalam mengurangi emisi maupun dalam memberikan dukungan kepada negara-negara berkembang dalam bentuk keuangan, teknologi dan peningkatan kapasitas, dalam rangka  memenuhi target menahan peningkatan suhu global di bawah 2ÂșC," tutur Siti dalam pidatonya. 

 

(elz/hri)

 

Tags: Sekretariat Direktorat Jendral

membagi informasi ini: